A. PENDAHULUAN
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang
harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme
ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan
jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini
dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk
menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang
semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaga gawangnya, namun meskipun
demikian ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul
Fiqih tidaklah serta-merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para
mujtahid.[1]
Dinamika
hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio, yang
berkembang menjadi ijtihad, sebuah upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum
bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (alqur’an dan sunnah), dalam istilah Mustafa Ahmad az-Zarqa disebut dengan al-Masadir
al-Asasiyyah.
Sumber hukum Islam menurut jumhur
ulama ahli Ushul Fiqh ada empat
yaitu Alqur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas (akal).
Namun selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder
(al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana), pendapat para sahabat
Nabi (qaul al-shahabi),
kebiasaan/adat-istiadat (al'urf),
Istihsan, Istishlah dan Istishhab.[2]
Hukum
Islam ini ditinjau dari tehnik pengambilan hukumnya dapat dikelompokkan menjadi
4 (empat) macam, yaitu :[3]
احكام مصادرها نصوص صريحة قطعية فى ثبوتها وقطعية فى دلالتها
على احكامها
1.
Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakin adanya dan
yakin pula maksudnya menunjukkan kepada hukum itu.
Hukum seperti ini sifatnya tetap,
tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslimin, dan tidak
seorang pun berhak membantahnya.
احكام مصادرها نصوص ظنية فى الدلالة على احكامها
2.
Hukum yang diambil dari nash yang
tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
Tehnik pengambilan hukum ini membuka
jalan bagi mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nash itu saja dan
tidak diperbolehkan melampaui lingkungan nash tersebut.
احكام
لم تدل عليها نصوص لاقطعية ولاظنية ولكن انعقدعليها اجماع المجتهدين فى عصرمن
العصور
3.
Hukum yang tidak
ada nash-nya, baik secara qot’i (pasti) maupun secara zanni (dugaan), tetapi
pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya.
احكام
لم تدل عليها نصوص لاقطعية ولاظنية ولم ينعقد اجماع عليهامن المجتهدين فى عصرمن
العصور
4.
Hukum yang
tidak ada nash-nya, baik
secara qot’i maupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum
itu.
Produk hukum
dengan cara ini merupakan buah dari pendapat mujtahid menurut asas (cara)
yang sesuai dengan akal pikirannya dan keadaan lingkungan masing-masing dalam kontek
waktu dan terjadinya peristiwa itu. Sehingga produk hukum seperti ini tidak tetap, mungkin
adakalanya berubah dengan berubahnya keadaan atau tinjauan masing-masing.[4]
Pada
saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang metodis (ilmu fiqh), sebenarnya sudah dikenal
adanya dua kubu pengembangan pemikiran hukum Islam, yaitu kubu Irak dan kubu
Hijaz. Kubu Irak dengan tokoh utama Imam Abu Hanifah, para ulama pendukung
kubu ini dikenal sebagai ahl al-ra'y,
sedang kubu Hijaz dengan tokoh utama Imam Malik, para ulama pendukung kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.[5]
Ahl al-ra'y
sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam pengembangan pemikiran hukumnya (metoda
ijtihad) volume penggunaan rasio lebih besar dari volume penggunaan hadist
(sebagai salah satu sumber syari'ah),
namun ini tidak berarti mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama
sekali tidak menggunakan sumber hukum itu, akan tetapi penggunaannya yang sangat
terbatas.[6]
Dipihak lain (ahl al-hadits) sesuai
dengan situasi lingkungannya, mereka dalam pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihad) volume penggunaan sumber hukum hadits lebih besar
dari volume penggunaan sumber rasio (dalam
hal ini qiyas), namun ini tidak berarti pula mereka menolak penggunaan
sumber rasio, sehingga pada dasarnya kedua kubu ini sama-sama mengakui
keabsahan sumber hukum qiyas dalam hal ini.[7]
Bahkan Ahl
al-ra'y yang volume penggunaan rasionya lebih besar, ternyata tidak saja
menggunakan qiyas yang merupakan bentuk penggunaan rasio dengan cara analogis
ilmiah ketat, akan tetapi mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan
lebih luas, yang pada akhirnya hal ini berhubungan dengan lahirnya konsep
Istihsan dalam sumber hukum Islam.[8]
Istihsan
secara harfiah berarti menganggap baik akan sesuatu, baik itu fisik maupun
nilai yang terkandung didalamnya. Kata ini kemudian digunakan sebagai suatu technische-term yang membentuk
pengertian baru dan menggambarkan suatu konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas
untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum
dari sumber syari'ah yang tersurat, atau sumber hukum yang dipersamakan dengan
itu, yakni kesepakatan para ahli yang berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.[9]
B. PENGERTIAN ISTIHSAN
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari kata hasan yang berarti
baik, lawan dari qobaha
yang berarti buruk, kemudian mendapatkan tambahan tiga huruf yaitu alif-sin
dan ta’ berwazan istif’ala, yang berarti :
عد الشئ واعتقاده حسنا و هو ضد الأستقباح
Menganggap dan
menyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau
nilai) lawan dari Istiqbah, mengganggap sesuatu itu buruk.[10] Namun ada kalanya
orang mengatakan “Istihsan itu kadza” atau “Haadza mimma istahsanahul Muslimun”, yang berarti, ”Hal itu termasuk sesuatu yang dianggap baik
oleh kaum Muslimin”.[11]
Istihsan menurut istilah memiliki banyak definisi di
kalangan ulama ahli Ushul Fiqh, diantaranya Abul Hasan Al Karakhy
mendefinisikan :
Istihsan
adalah berpindahnya seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu masalah dari
satu hukum kepada hukum lain yang berlawanan dengannya, karena adanya dalil
yang mendorong untuk meninggalkan hukum yang pertama.[12]
Menurut
Ibnul
Araby, Istihsan adalah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah
dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain
pada sebagian kasus tertentu, dan menurut Ibnu Anbary (ahli fiqih dari madzhab Maliki) memberi definisi Istihsan adalah memilih
menggunakan maslahat juziyyah yang
berlawanan dengan qiyas kully. Sementara
menurut Asy Syakhosy, Istihsan pada hakekatnya adalah dua qiyas yaitu qiyas
jali dan qiyas khofi, dimana qiyas jali lemah pengaruhnya, sementara
qiyas khofi kuat pengaruhnya, dan qiyas khofi inilah yang disebut
Istihsan, yaitu pengqiyasan terhadap sesuatu yang dianggap baik, dan ukuran
kebaikannya adalah pengaruhnya. Kemudian dalam perkembangannya Istihsan menurut
ulama ahli Ushul Fiqh kebanyakan diartikan, kecenderungan seseorang pada
sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah, meskipun hal
itu dianggap tidak baik oleh orang lain.[13]
Berikut ini beberapa definisi Istihsan secara
istilahi menurut ulama ahli Ushul Fiqh sebagai perbandingan, sekalipun muatan
esensinya hampir memiliki kesamaan-kesamaan antara satu dengan yang lain.
عبارة عن دليل ينقدح فى نفس المجتهد
لايقدر على اظهاره لعدم مساعدة العبارة له[14]
العدول
عن موجب القياس الى قياس اقوي منه[15] الاخذ بمصلحة جزئية فى مقابلة دليل كلي[16]
الاستحسان
هوان يعدل الانسان عن ان يحكم فى المسالة بمثل ماحكم فى نظائرها الى خلافه لوجه
اقوي يقتضي العدول عن الاول[17]
ترك
وجه من وجوه الاجتهادغيرشامل شمول الا لفاظ لوجه اقوي منه[18]
القياس
الخفي[19]
عبارة
عن تخصص قياس بدليل هو اقوي منه[20]
ايثارترك
مقتضي الدليل على طريق الاستثناء والترخص و المعارضةمايعارض به فى بعض مقتضياته
(ابن العربي)[21]
مااستحسنه
المجتهد بعقله[22]
Berangkat
dari definisi Istihsan tersebut di atas, nampaknya setiap ulama ahli Ushul Fiqh
berbeda dalam mendefinisikannya sekalipun ada beberapa sisi yang memiliki
kemiripan, sehingga kemudian ada pendapat bahwa sesungguhnya makna Istihsan itu
hanya ada dua yaitu definisi yang shohih dan disepakati, dan definisi
yang batal dan disepakati kebatalannya.
Definisi
yang shohih dan disepakati adalah :
ترجيح دليل على دليل
او هو العمل بالدليل الاقوي الاحسن او العدول بحكم المسالة عن نظائرها لدليل خاص
من كتاب اوسنة
Artinya, mentarjih (memilah) dalil
atas/dengan dalil, atau mengamalkan/mengfungsikan dalil yang lebih kuat dan
baik, atau beralih dalam menghukum suatu masalah dari yang memiliki
kemiripan-kemiripannya karena ada dalil khusus dari Alqur’an atau Sunnah.[23]
Definisi
yang batal dan disepakati kebatalannya adalah :
مااستحسنه
المجتهد بعقله
Artinya, Sesuatu yang dianggap baik oleh seorang
mujtahid berdasarkan akalnya.[24]
Hal ini karena kesepakatan ulama ahli Ushul Fiqh yang menjadikan Istihsan
sebagai sumber hukum Islam selalu dengan menyandarkannya pada dalil yang diakui
oleh para ulama bukan berdasarkan akalnya semata.
C.
METODE DAN KEDUDUKAN ISTIHSAN
Sumber Hukum Islam yang disepakati atau dalam
istilah Mustafa Ahmad az-Zarqa disebut dengan al-Masadir al-Asasiyyah
adalah Alqur'an dan Sunnah. Tetapi menurut jumhur ulama ahli Ushul Fiqh
sumber tersebut ada empat, yaitu Alqur'an, Sunnah, Ijma',dan Qiyas. Adapun
sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama ahli Ushul Fiqh atau yang
disebut juga dengan al-Masadir at-Taba'iyyah (sumber selain Alqur'an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) terdiri atas Istihsan,
Maslahat, Istishab, Irf, Sadd az-Zari'ah, Mazhab Sahabi, dan Syar'u Man
Qablana.
Bagi jumhur ulama ahli Ushul Fiqh yang menyatakan
bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Alqur'an, Sunnah,
Ijma', Qiyas, maka hanya tersebut itulah yang dikatakan sebagai dalil dan metode
atau kaidah-kaidah interpretasi untuk
memperoleh hukum syara' atas
ketentuan-ketentuan syari'ah (Alqur'an,
Sunnah, Ijma’ ditambah dengan analogi qiyas), sudah cukup untuk menampung segala perkembangan yang terjadi
dalam hukum Islam melalui ijtihad.[25] Sementara
ulama ahli Ushul Fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir al-Asasiyyah dan
juga al-Masadir at-Taba'iyyah sebagai
sumber hukum Islam, mengemukakan alasan bahwa metode-metode tersebut
merupakan metode penggalian hukum Islam yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
harus disandarkan kepada Alqur'an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.[26]
Oleh sebab itu, ada diantara metode ijtihad tersebut
yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama ahli Ushul Fiqh, misalnya
metode istihsan. Metode Istihsan diterima oleh ulama Mazhab
Hanafi, Maliki dan sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil, sedangkan ulama
Mazhab Syafi'i menolaknya, karena menurutnya dalam suatu kasus akan ditemukan
beberapa hukum, apabila landasan yang dipakai adalah salah satu dari al-Masadir
at-Taba'iyyah tersebut.
Munculnya perbedaan ini disebabkan karena perbedaan
metode yang digunakan dalam berijtihad terhadap kasus tersebut, misalnya kasus
perselisihan dalam jual beli. Pembeli tidak mau menyerahkan uang sebelum barang
yang dibelinya ia terima, sedangkan penjual tidak mau pula menyerahkan barang
sebelum uang sebesar harga yang dituntutnya diserahkan. Dalam kasus seperti
ini, pembeli dan penjual berstatus sama-sama penggugat disatu pihak dan
tergugat dipihak lain. Menurut qaidah umum (qiyas), penggugat wajib
mengemukakan alat bukti untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Namun
persoalannya adalah bagaimana menentukan penggugat dan tergugat dalam kasus di
atas.[27]
Ulama Mazhab Hanafi menyelesaikan persoalan itu
melalui Istihsan, caranya dengan menetapkan bahwa keduanya sama-sama tergugat
dan penggugat. Jika qiyas diterapkan dalam kasus ini maka tidak bisa ditentukan
siapa yang tergugat dan siapa yang menggugat, karena keduanya dalam waktu yang
sama berstatus sebagai tergugat dan penggugat. Oleh sebab itu, baik melalui
qaidah maupun metode Istihsan, masing-masing mereka harus mengemukakan alat
bukti atas gugatan mereka. Pembeli harus mengemukakan alat bukti bahwa penjual
menyerahkan barang yang dibeli sesuai dengan harga barang yang menurutnya telah
disetujui bersama, sebaliknya penjual harus pula mengemukakan alat bukti bahwa
harga yang dikehendakinya bukan seperti yang dikemukakan pembeli. Pihak yang
tidak bisa mengemukakan alat bukti dinyatakan kalah dan harus menyerahkan
tuntutan pihak lainnya.[28]
Kalau analogi qiyas, dibutuhkan adanya suatu
ketentuan pokok yang bersifat
terinci (tafshili) untuk dijadikan landasan mengaitkan sesuatu yang ada
persamaannya, dalam hal tujuan dan sasaran ditetapkannya ketentuan tersebut,
atau dengan kata lain bahasa tekniknya harus ada ashl dan harus ada 'illah,
untuk menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru. Analogi qiyas ini ada empat
elemen pokok yakni, ketentuan pokok (ashl),
landasan penyamaan ('illah), kejadian
baru (far), ketentuan yang dihasilkan
dari pengaitan (ilhaq) tersebut di
atas, dan inilah yang disebut dengan hukum qiyas. Qiyas oleh sebagian ahl
al-ijtihad dianggap merupakan
upaya final dalam penggalian dan penemuan hukum-hukum dari sumber
syari'ah atau sumber yang dipersamakan (ijma'),
namun sebagian yang lain beranggapan bahwa masih ada upaya penalaran yang lain selain
qiyas, seperti Istihsan, Istishlah,
Istishab, Irf, Sadd az-Zari'ah, Mazhab Sahabi, dan
Syar'u Man Qablana.[29]
Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi
qiyas, karena dimungkinkan masih adanya qiyas alternatif (qias
kahfi) yang terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang
lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qiyas jali (biasa) dialihkan kepada qiyas khafi (alternatif), dan hasilnya disebut dengan Istihsan. Kemudian termasuk
juga dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu
ketentuan pokok yang bersifat umum atau dari suatu kaidah hukum, karena
pengecualian itu didukung oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf
atau dharurah, atau mashlahah. Dengan kata lain pertimbangan
adanya ketentuan lain atau kesepakatan atau kebiasaan atau keadaan darurat atau
suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam hukum
Istihsan.[30]
Adapun istihsan sebagai sumber hukum dalam terminologi dan
istinbath hukum banyak digunakan oleh dua imam madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam
Abu Hanifah, walaupun pada dasarnya Imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan
dalil qiyas selama masih dipandang lebih tepat.[31]
Sementara Imam Syafi’i menolak dengan alasan kaidah-kaidah interpretasi atas
ketentuan-ketentuan syari'ah (Alqur'an, Sunnah,
Ijma’ dan ditambah dengan analogi qiyas), sudah cukup untuk menampung segala perkembangan yang terjadi dalam hukum Islam.[32]
Kedua kelompok ini, baik yang menggunakan Istihsan maupun
yang menolak Istihsan sebagai sumber hukum Islam tentunya mempunyai dasar dan
alasan sendiri-sendiri yang menguatkan pendapat kelompoknya masing-masing.
Adapun alasan-alasan yang dikemukakan kelompok-kelompok ini antara lain.
1. Alasan kelompok yang menganggap
Istihsan sebagai sumber hukum :
Firman
Alloh SWT dalam surat Az Zumar ayat 18;
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ
فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya :
Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.[33]
Sabda Rosul SAW;
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : Apa yang dilihat kaum
muslimin baik maka baik pula disisi Alloh SWT.
2. Alasan kelompok yang menolak
Istihsan sebagai sumber hukum :
Firman
Alloh SWT dalam surat An Nisa ayat 59;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya :
Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.[34]
Kedua kelompok tersebut di atas
walaupun sekilas terdapat perbedaan, namun demikian sesungguhnya diantara dua
kubu tersebut tidak ada perbedaan yang mendasar, karena Abu Hanifah yang
menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum dalam artian tetap saja mendahulukan nash
atas qiyas.
Bahkan beliau juga menolak
penggunaan Istihsan dalam artian mengamalkan sesuatu berdasarkan akal dan
mengabaikan nash. Beliau berkata: “Janganlah kalian mengambil qiyas
Zufar (salah seorang muridnya), karena hal itu apabila kamu lakukan, maka kamu
telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang harom”. Dengan kata
lain tidak ada satupun ulama yang menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum
berpendapat hanya berdasarkan akal semata, akan tetapi semua memiliki sandaran.[35]
Begitu juga Imam Syafii,
beliau menolak Istihsan semata-mata jika hanya berdasarkan akal, namun apabila
tidak semata-mata karena akal, maka beliau dapat menerimanya bahkan beliau juga
menggunakannya. Ibn Qoyyim berkata bahwa, “Imam Syafi’i sangat menolak Istihsan, namun pada beberapa kasus beliau
menggunakan Istihsan”.[36]
Begitu pula dengan Imam Ahmad bin Hanbal yang kadang menolak Istihsan tapi juga
kadang menggunakan Istihsan, beliau berkata: “Aku menganggap
baik untuk bertayamum setiap kali sholat”, padahal secara qiyas Tayamum sama dengan berwudlu.[37]
Dalam perkembangan pemikiran hukum
Islam, Istihsan ini ditempatkan dalam kedudukan sebagai sumber hukum sekunder, terutama
dikalangan penganut aliran pemikiran hukum (madzhab)
Hanafiyah, disamping berkembang pula secara terbatas dikalangan penganut aliran
Malikiyah dan Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda. Adapun
seorang tokoh yang menolak menempatkan
Istihsan sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam Syafi'i, karena
beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas ketentuan-ketentuan syari'ah
(alQur'an, Sunnah,Ijma’ ditambah dengan analogi qiyas),
sudah cukup untuk menampung segala perkembangan yang terjadi dalam hukum Islam.[38]
D. MACAM-MACAM ISTIHSAN
Setelah menjelajah pengertian dan
kedudukan Istihsan dalam hukum Islam, ulama ahli Ushul Fiqh membagi Istihsan
menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. Istihsan dilihat dari aspek
pengalihan
1.1. Mengalihkan qiyas jali (zhohir/nyata) mengambil qiyas khafi (samar)
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali (nyata) karena ada petunjuk untuk itu.
Istihsan ini terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu
dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas jali dan qiyas khafi.
Contohnya :
Menurut madzhab Hanafi bila seorang
mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya, hal ini
ditetapkan berdasar Istihsan. Menurut qiyas jali, hak-hak tersebut tidak
mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli, dimana yang
terpenting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf
diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu,
sedangkan menurut Istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu
kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak
memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang - demikian pula
halnya dengan waqaf - yang penting ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat
dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan
yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada
jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya
yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu
kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi.
1.2. Mengalihkan nash yang bersifat
umum, mengambil hukum khusus.
Yaitu hukum pengecualian dari
kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
Contohnya : Kasus ketika Umar bin Khotob
membatalkan hokum potong tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi
musim paceklik dan kelaparan, padahal hokum potong tanagn sudah cukup jelas
berdasarkan nash. Contoh lain, hukum jual-beli al-salam,yaitu menjual sesuatu
yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang
dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum
ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat
akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits
Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal
ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka Beliau bersabda :
“Barang siapa yang melakukan
(jual-beli) al-salaf, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan
yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” [39]
1.3. Mengalihkan/mengabaikan hukum
kulli, mengambil hokum istisna’i (pengecualian)
Contohnya : Orang yang makan saat puasa
karena lupa. Kaidah umum puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu al
imsak’ telah rusak, namun karena ada dalil yang khusus yang mengecualikannya,
maka puasanya tidak batal. Nabi bersabda :
“Siapa
yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia
menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minur yang diberikan
Alloh”.[40]
2. Istihsan dilihat dari sanad (sandaran) yang digunakan dalam
pengalihan/pengabaian.[41]
2.1. Istihsan yang sanadnya berupa quwwatul atsar (riwayat yang kuat)
Contohnya : Kasus sisa air minum unggas
carnivore seperti burung elang atau burung pemakan bangkai. Jika dilihat dari
kacamata qiyas maka air itu menjadi najis, karena diqiyaskan kepada hewan buas,
yang mempunyai kesamaan illatnya, yaitu sama-sama hewan yang dagingnya haram
untuk dimakan. Namun jika dilihat dari kacamata Istihsan, hokum air tersebut
suci namun makruh, karena burung meminumnya dengan paruhnya, sementara paruhnya
adalah suci karena sejenis dengan tulang yang kering, berbeda dengan binatang
buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air liur, yang bersumber dari
dagingnya yang diharamkan.[42]
2.2. Istihsan yang sanadnya berupa maslahat
Contohnya : Kasus al ajir al musytarok’ (pekerja
yang terikat pada banyak orang), seperti tukang jahit yang menghilangkan/kehilangan
bahan jahitannya. Jika dilihat dari kaca mata qiyas maka ia tidak wajib
mengganti apabila hilangnnya bukan karena kelalaiannya. Namun apabila dilihat
dari kaca mata Istihsan maka ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak milik
orang tidak disia-siakan.
2.3. Istihsan yang sanadnya berupa ijma’
Contohnya : Kasus akad Istishna’ (pesanan). Jika menurut qiyas semestinya akad
itu batal karena obyek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung, akan tetapi
transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman. Hal ini dipandang
sebagai ijma’ atau ‘urf ‘aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas, dengan
demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lain
yang lebih kuat.
2.4. Istihsan yang sanadnya berupa qiyas
Contohnya : Kasus wanita yang perlu
pengobatan khusus. Pada hakekatnya seluruh tubuh wanita adalah aurat, akan
tetapi diperbolehkan untuk melihat sebagian tubuh wanita karena hajat, seperti
untuk kepentingan pengobatan. Disini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa
tubuh seorang wanita adalah aurat dan memandangnya akan mendatangkan fitnah,
sementara disisi lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati, maka dalam
hal ini dipakai illat at taysir (memudahkan)
2.5. Istihsan yang sanadnya darurat
Artinya bahwa ada keadaan-keadaan
darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum (qiyas).
2.6. Istihsan yang sanadnya berupa ‘urf (budaya/kebiasaan)
Contohnya : Kasus seseorang yang bersumpah
tidak akan memakan daging (lahman),
namun kemudian ia memakan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya
karena alQur’an menyebut ikan dengan kata lahman
toriyyan, namun berdasarkan ‘urf ikan itu berbeda dengan daging.[43]
D. KEHUJJAHAN ISTIHSAN DAN
APLIKASINYA
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa Istihsan bukanlah
merupakan sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri. Istihsan adakalanya
disandarkan pada dalil-dalil syar’iyah yang lain seperti Ijma’, qiyas, maslahat, urf, doruroh, sunnah. Dikalangan ulama ahli
Ushul Fiqh terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan Istihsan
sebagai salah satu metode (dalil)
dalam menetapkan hukum syara’, dan munculnya perbedaan ini disebabkan karena
perbedaan metode yang digunakan dalam berijtihad terhadap kasus tersebut.
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf memberikan
gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan :
“Jika sebuah kasus
terjadi yang berdasarkan keumuman nash
yang ada atau kaidah umum tertentu kasus
itu seharusnya dihukumi dengan hukum
tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini
memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian -dalam
pandangannya- bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya
sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan hilangnya maslahat atau
terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan hukum tersebut menuju
hukum yang lain yang merupakan hasil dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiannya
dari kaidah umumnya, atau qiyas khafy yang
tidak terduga (sebelumnya). Proses ‘meninggalkan’
inilah yang disebut dengan Istihsan, dan ia merupakan salah satu metode ijtihad
dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus
untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu
menguatkan satu dalil atas dalil lain juga atas hasil ijtihad ini.” [44]
Menyikapi penggunaan Istihsan dalam metode Istimbat hukum yang kemudian menjadi
sebuah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama ahli Ushul Fiqh, secara
garis besar terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan
sebagai salah satu bagian metode ijtihad.
Pendapat pertama, Istihsan
dapat digunakan sebagai bagian dari
ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah. Pendapat kedua, Istihsan
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini
dipegangi oleh Syafi’iyah khususnya dan Zhahiriyah. Kedua pendapat ini dalam menyikapi hujjiyah
Istihsan dalam hukum Islam didukung pula dengan beberapa dalil dan
argumentasi mereka masing-masing.[45]
Pertanyaannya, lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang
pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai
salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta, dalam arti mereka tidak membebaskan
akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas.
Setidaknya ada 2 (dua) hal yang harus
dipenuhi dalam proses Istihsan, yaitu ketiadaan nash yang sharih dalam
masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut. Kemudian
jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan,
kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena
kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam
penolakan terhadap nash dan lebih
memilih hasil olahan logikanya sendiri. Atau dengan kata lain, para pendukung
pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya
dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
E. PENUTUP
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara
wahyu dan rasio, yang berkembang menjadi ijtihad, sebuah upaya ilmiah menggali
dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat
(manshus) dalam syariah (alqur’an dan sunnah). Para ulama ahli
Ushul Fiqh berselisih pendapat mengenai sumber hukum Islam diluar AlQur’an,
Sunnah, Ijma’ dan qiyas, diantaranya Istihsan.
Istihsan secara harfiah berarti menganggap baik akan
sesuatu, baik itu fisik maupun nilai yang terkandung didalamnya. Kata ini
kemudian digunakan sebagai suatu technische-term
yang membentuk pengertian baru dan menggambarkan suatu konsep penalaran
dalam rangka penggunaan rasio secara
lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak
ditetapkan hukum dari sumber syari'ah yang tersurat, atau sumber hukum yang
dipersamakan dengan itu, yakni kesepakatan para ahli yang berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.
Istihsan dapat
digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah menurut pendapat golongan Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah. Sementara golongan Syafi’iyah khususnya dan Zhahiriyah
berpendapat Istihsan tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah dalam berijtihad. Walaupun dalam hal ini terdapat perbedaan, namun demikian sesungguhnya diantara dua kubu
tersebut tidak ada perbedaan yang mendasar, karena Abu Hanifah yang menjadikan
Istihsan sebagai sumber hukum dalam artian tetap saja mendahulukan nash
atas qiyas, sementara Imam
Syafii, beliau menolak Istihsan semata-mata jika hanya berdasarkan akal, namun
apabila tidak semata-mata karena akal, maka beliau dapat menerimanya bahkan
beliau juga menggunakannya, terutama dikalangan syafi’iyah.
Jadi tidak ada satupun ulama yang menjadikan Istihsan sebagai sumber
hukum berpendapat hanya berdasarkan akal semata, akan tetapi semua memiliki
sandaran.
Perbedaan, justru disitulah menjadikan hikmah bagi perkembangan pemikiran di
dunia hukum Islam agar senantiasa digali dan digali seiring dengan perkembangan
jaman dan dalam upaya untuk memberikan solusi dan menjawab tantangannya.
[1] Syarmin
Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam (Surabaya:Al Ikhlas,1993),169
[2] Ali Yafie, Konsep
Istihsan, Istishlah dan Mashlah Al Ammah (Jakarta:Makalah,2003),2
[3] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam :Hukum Fiqh Lengkap
(Bandung: Sinar Baru Algensindo,2004, cet.37),2-3
[5] Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,cet.1(Semarang:Dina Utama,1994),113
[6] Ibid,.114
[7] Ibid,.113
[9] Ali Yafie, Konsep
Istihsan..,2
[10] Al Fairuz
Abadi, Al Qomus Al Muhith, 1189
[11] Syarmin Syukur,
Sumber-Sumber Hukum Islam,169
[13] Syarmin
Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam,169
[14]Jasim Muhalhil,
Al Jadawil, 55
[15] Ibnul
Quddamah, Raudhotun Nazhir, 86
[16]Asy Syatiby, Al
Muwafaqoh, juz IV,205
[17]Al
Jayzani, Ma’alim Ushul Al Fiqh, 236, Beliau mengatakan bahwa definisi tersebut adalah
definisi Hanafiyah.
[18] Al Qorofi, Nafais
Al Ushul, 9/4216
[19] Al Bukhori, Kasyful
Asror, 4/3
[20] Al Amidi, Al
Ihkam fi Ushulil Ahkam, 4/57
[21] Asy Syatiby, Al
Muwafaqot, 4/208
[22]
As
Syinqiti, Muzakiroh Ushul Fiqh, 167
[23] Abdullah
Qomaruddin, Al Istihsan (Jakarta: STID Dirosah Islamiyah Al Hikmah,2002),3
[24] Ibid,.3
[25] Syarmin Syukur,
Sumber-Sumber Hukum Islam,170
[26] Ibid,.171
[27] Ali Yafie, Konsep
Istihsan..,3
[28] Abdullah
Qomaruddin, Al Istihsan, 5
[29] Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 110
[30]
Ibid,.110
[31] Ibid,. 112
[32] Syarmin
Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam,170
[33] Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah ( Jakarta : Departemen Agama RI, 1993),
[34] Ibid,.
[35] Abdullah
Qomaruddin, Al Istihsan, 6
[36] Badai’u, Al
Fawaid, IV/32
[37] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shhiddiqiey, Pengantar Hukum
Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra,1997), 223
[38] Syarmin
Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam,171
[40] HR. Muslim, Sahih Muslim, I/415
[41] Abu Zahroh, Ushul Fiqh, 249-250
[42] Abu Zahroh, Ushul Fiqh, 249-250
[43] Ibid,. 249-250
[44] Abdullah Qomaruddin, Al
Istihsan, 6
[45] Syarmin Syukur, Sumber.,176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar