Pokjahulu Kebumen dibentuk pada hari Selasa 30 Oktober 2012 semoga bisa jadi sarana untuk menjalin Ukhuwah Islamiyah dan Silaturahmi melalui Profesi, Pengurus Pokjahulu Kebumen : Atam Ruba'i Hamid (Ketua) H. Mahmudi (Wakil Ketua) Amin Widodo (pjs) (Sekretaris) Johar Malik (Bendahara)

Kamis, 28 Mei 2015

NIKAH SIRRI DI KUA, MUNGKINKAH ? (*


A.    Pendahuluan
Nikah sirri di KUA, mungkinkah?. Ketika pertanyaan itu disampaikan kepada PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan, spontan mereka pasti akan menjawab tidak mungkin. Akan tetapi ketika pertanyaan ini disampaikan kepada peneliti dan atau akademisi tentu tidak serta-merta menjawab “mungkin atau tidak mungkin” sebelum dilakukan penelitian ilmiah, dikaji dan ditemukannya data-data valid yang ada di lapangan. Karena pada prinsipnya data-data di lapangan dalam sebuah penelitian ilmiah sesungguhnya akan menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan tersebut di atas.
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU Nomor. 1 Tahun 1974 merupakan azas pokok dari sahnya pernikahan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat komulatif, bukan syarat alternatif sahnya suatu pernikahan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan pernikahan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut masih mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir, dan juga tidak disertai adanya sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan pernikahan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.[1]
Kemudian dalam pelaksanaan hukum pernikahan di Indonesia, eksistensi seorang PPN/Kepala/Penghulu yang bertugas di Kantor Urusan Agama sangatlah penting. Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam pernikahan oleh seorang PPN/Kepala/Penghulu dapat menyebabkan pernikahan itu bisa dilaksanakan atau tidak. PPN/Kepala/Penghulu dapat menggagalkan pernikahan dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil pemeriksaanya terhadap pihak-pihak yang terkait dalam pernikahan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum pernikahan.[2]
Seorang PPN/Kepala/Penghulu dalam menjalankan tugasnya haruslah berpegang kepada aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan, KHI dan aturan-aturan lain yang berhubungan dengan tugas-tugas kepenghuluan. Dalam hukum Administrasi Negara dijelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang, yang kemudian dikenal dengan istilah asas legalitas.[3] Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, atau dengan kata lain asas legalitas memiliki kedudukan sentral sebagai suatu fondamen dari negara hukum. Untuk itu, PPN/Kepala/Penghulu sebagai aparatur pemerintah juga harus tunduk dengan aturan perundang-undangan (hukum positip) dalam menjalankan tugasnya.
Namun dalam praktiknya di lapangan para PPN/Kepala/Penghulu ternyata belum sepenuhnya menggunakan hukum positif sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya. Bahkan ada kecenderungan dalam beberapa kasus pernikahan yang terjadi, para PPN/Kepala/Penghulu masih menggunakan aturan hukum pernikahan yang ada dalam kitab-kitab fiqh sebagai pilihan. Sikap dualisme PPN/Kepala/Penghulu ini dalam menggunakan aturan hukum kemudian dianggap sebagai sikap inkonsistensi yang menyalahi aturan hukum Administrasi Negara. Dalam tulisanya, Afif Mundzir menjelaskan bahwa,Ironis banyak pelaku hukum positip yang ada di KUA, dalam hal ini penghulu berlaku bias terhadap hukum positip karena terjebak dengan varian budaya masyarakat dan juga asumsi parsial dan hukum fiqh secara ansih”.[4]
Dengan kata lain PPN/Kepala/Penghulu dianggap tidak konsisten dalam melaksanakan aturan hukum pernikahan. Kadang-kadang PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan menggunakan aturan hukum positif namun tidak jarang juga PPN/Kepala/Penghulu menggunakan aturan fiqh, yang mestinya selaku aparatur negara PPN/Kepala/Penghulu dituntut harus konsisten menggunakan hukum positif dalam menjalankan tugasnya. Bahkan tidak jarang pula PPN/Kepala/Penghulu melakukan ijtihad dan memberikan kebijakan-kebijakan di luar hukum positif yang ada, yang hal ini terkadang dapat berakibat hukum yang tidak bisa dianggap ringan dalam masyarakat.
Kebijakan-kebijakan PPN/Kepala/Penghulu ini adakalanya hanya besifat lisan yang didasarkan atas alasan-alasan yang bersifat pribadi, seperti pakewuh, alasan keluarga dan lain sebagainya. Kasus yang terjadi di wilayah Kebumen barat misalnya, PPN/Kepala/Penghulu memberikan kebijakan secara lisan kepada staf dan pegawai biasa untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat peristiwa pernikahan dikarenakan PPN/Kepala/Penghulu merasa pakewuh dengan staf atau pegawainya yang dipandang lebih senior dari dirinya. Sehingga peristiwa pernikahan di wilayah tersebut banyak berlangsung dihadapan seorang staf atau pegawai biasa yang notabene-nya bukan seorang Pegawai Pencatat Nikah yang memiliki kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat peristiwa pernikahan.
Terhadap peristiwa tersebut di atas sebenarnya secara jelas sudah diatur dalam KHI pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954”, dan juga pasal 6 ayat (1) yang menyatakan, “Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”, dan ayat (2) yang menyebutkan bahwa Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[5]
Berbeda dengan kasus yang terjadi di Kebumen barat, di Kebumen selatan dalam pengamatan penulis justru pernah terjadi beberapa kali kasus pernikahan yang dilakukan bukan dihadapan PPN/Kepala/Penghulu KUA Kecamatan setempat, melainkan hanya dilakukan dihadapan seorang kyai saja. Padahal seorang kyai juga bukanlah Pegawai Pencatat Nikah yang mempunyai kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat peristiwa pernikahan. Dan terhadap pernikahan model ini, kebanyakan warga masyarakat menganggap sebagai pernikahan sirri karena tidak dihadiri, disaksikan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal ini PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.[6]
Kedua kasus tersebut di atas, dalam pengamatan penulis cukup menarik untuk diteliti. Terhadap kasus di Kebumen selatan, warga masyarakat spontan menganggap sebagai pernikahan sirri karena terjadinya pernikahan tersebut tanpa dihadiri pihak yang berwenang untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan, yaitu Pegawai Pencatat Nikah dalam hal ini PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat. Namun yang menjadi masalahnya adalah bagaimana dengan  kasus di Kebumen barat, ketika pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat yang menghadiri peristiwa pernikahan tersebut ternyata bukan seorang Pegawai Pencatat Nikah,[7] melainkan hanya staf atau pegawai biasa. Apakah ada aturan hukumnya PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan memberikan kebijakan menugaskan secara lisan kepada staf atau pegawai biasa untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat sebuah peristiwa pernikahan?.
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Nikah Sirri
Fenomena nikah sirri (sembunyi-sembunyi/rahasia) ternyata masih menjadi polemik pelik yang harus disikapi dengan kebijakan terbaik. Kasus ini memerlukan penelaahan yang seksama karena dalam permasalahan ini dianggap nantinya akan terjadi benturan antara aturan agama dengan perundang-undangan yang ada.[8] Dimana dalam pandangan fiqih secara literal kasus nikah sirri sudah dapat di statuskan sah dan dapat dibenarkan, sedangkan jika disinergikan dengan perundang-undangan, pernikahan semacam itu belum bisa dikatakan sah dan dibenarkan karena bertentangan dengan aturan yang berupa persyaratan prosesi pernikahan yang harus dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah.
Pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada diantara masyarakat muslim dengan berbagai alasan tertentu melakukan pernikahan di bawah tangan “nikah sirri” dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang yaitu PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. Fenomena semacam ini dalam masyarakat kita lebih dikenal dengan istilah nikah sirri.
Secara literal nikah sirri berasal dari bahasa Arab “nikah dan sirr”. Nikah  menurut bahasa artinya mengumpulkan, jima’, bersetubuh (wathi) atau persetubuhan (coitus). Kata nikah dalam penggunaannya juga sering artikan sebagai  akad nikah. Sedangkan sirr menurut bahasa berarti rahasia. Dengan demikian secara arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan dari publik dengan berbagai alasan dan tidak dipestakan dalam bentuk resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum.[9]
Kaitannya dengan nikah siri ini setidaknya ada tiga pengertian yang terkait didalamnya, pertama, pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (sirri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju dan atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali, atau mereka hanya ingin memuaskan nafsu syahwat tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat. Padahal hukum pernikahan seorang wanita tanpa wali Islam telah melarang dengan tegas. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda yang artinya: "Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua saksi yang adil”.[10]
عن عائشة ان النبى صل الله عليه واله وسلم قال : أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil.

Kedua, nikah sirri yang didefinisikan nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain.[11] Dari definisi kedua ini, bisa saja orang yang mencatatkan pernikahannya ke KUA disebut nikah sirri dalam pengertian jika semua pihak yang terkait sepakat merahasiakan perihal pernikahan tersebut. Ketiga, nikah sirri yang umum dipersepsikan masyarakat yakni pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi ke Kantor Urusan Agama Kecamatan. Masyarakat menganggap bahwa pernikahan yang dilaksanakan walaupun tidak dirahasiakan, namun tidak dicatatkan secara resmi ke Kantor Urusan Agama Kecamatan tetap saja dikatakan nikah sirri.[12]
Dari ketiga model pernikahan sirri tersebut di atas, pernikahan sirri model ketiga adalah yang paling relevan dengan topik bahasan dalam tulisan ini. Dengan demikian, yang dimaksud dengan nikah sirri dalam tulisan ini ialah suatu pernikahan yang dilaksanakan tidak di hadapan dan dicatat oleh PPN/Kepala/Penghulu serta tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Persoalan nikah sirri ini memang masih sering menimbulkan pro dan kontra, satu pihak ada yang beranggapan pernikahan seperti itu boleh dilakukan, di pihak lain meragukan keabsahannya. Nikah siri marak terjadi dimana-mana, dan biasanya yang melakukan adalah mereka yang tahu tentang hukum Islam, dan mereka juga tahu bahwa nikah seperti itu illegal karena tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 maupun Kompilasi Hukum Islam.[13]
2.      Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Penghulu
Petugas Pencatat Nikah (PPN) ialah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan.[14] Petugas Pencatat Nikah mempunyai kedudukan jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 sampai sekarang ini, sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut Agama Islam dalam wilayahnya.
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1976 menunjuk Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi atau yang setingkat sebagai pejabat yang berhak mengangkat dan memberhentikan Pegawai Pencatat Nikah atau wakilnya, menetapkan tempat kedudukan dan wilayahnya setelah terlebih dahulu menerima usul dari Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bidang Agama Islam dan Penyelenggaraan Haji/Bidang Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.
Instuksi Kepala Jawatan Urusan Agama Nomor 3 Tahun 1960 menyatakan bahwa Kepala KUA Kecamatan dan Petugas Pencatat Nikah pada prinsipnya harus di satu tangan.  Instruksi Kepala Jawatan Nomor 5 tahun 1961 menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Petugas Pencatat Nikah harus lulus testing. Oleh karena itu para Pejabat yang berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan Petugas Pencatat Nikah harus memperhatikan benar tentang kedua hal tersebut di atas, dalam hal ini Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bidang Urusan Agama Islam dan penyelenggaraan haji/Bidang Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji di Propinsi selaku yang mengusulkan kepada Kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama yang bersangkutan.[15]
Mengenai tugas dan kewenangan PPN berdasarkan PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 2 poin (a) dan (b), dijelaskan:[16]
a)      Melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.
b)      Menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta rujuk.
Sementara tugas dan kewenangan Penghulu dalam PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 3 juga dijelaskan bahwa ,“Tugas Penghulu dan Pembantu PPN : Mewakili PPN dalam pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan, setelah mendapat mandat dari PPN”.[17]
Dengan demikian dalam menjalankan tugas dan kewenangannya Penghulu harus mendapatkan mandat dari PPN, sehingga konsekuensi hukumnya jika Penghulu tidak mendapat mandat atau dicabut mandatnya oleh PPN, maka tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangannya, sekali pun telah memperoleh Surat Keputusan pengangkatan sebagai Penghulu.[18]
3.      Pernikahan bukan dihadapan PPN/Kepala atau Penghulu
Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga pernikahan itu, maka pernikahan atau perkawinan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.[19]
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan azas pokok dari sahnya pernikahan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat komulatif,  bukan syarat alternatif sahnya suatu pernikahan. Sehingga dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan pernikahan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan pernikahan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.[20]
Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, pernikahan atau perkawinan bagi umat Islam, di samping harus dilakukan menurut hukum Islam, juga setiap pernikahan wajib dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pernikahan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).
Lebih lanjut dijelaskan pula tentang adanya sangsi bagi pelaku pelanggaran, yaitu dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 pasal 3 ayat (1), yang menyatakan bahwa,” Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah). Kemudian sangsi terhadap oknum yang bertindak seolah-olah sebagai Petugas Pencatat Nikah dan atau wali hakim, juga dijelaskan pada ayat (2) yang menyatakan bahwa,” Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,-(seratus rupiah)”.[21]
Mensikapi fenomena yang berkembang dan munculnya banyak kasus-kasus pernikahan sirri yang terjadi dalam masyarakat, itulah sebabnya pula beberapa tahun terakhir ini pemerintah kita sebenarnya telah merumuskan sebuah RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Pernikahan. RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Pernikahan ini sampai saat ini memang belum juga disahkan di tingkat parlemen.  Padahal dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan pernikahan dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas juga bagi yang melanggarnya.[22]
Pasal 4 RUU misalnya, menegaskan setiap pernikahan wajib dicatat oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan,”Untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap pernikahan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya”.
Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatan pernikahan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan bahwa,” Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan pernikahan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan)”.
Pasal 145 RUU menyatakan bahwa ,”PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)”.
Pasal 146 RUU menyatakan,” Setiap orang yang melakukan kegiatan pernikahan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat. Akibatnya dalam prakteknya pelanggaran masih banyak terjadi dalam masyarakat, bahkan tidak jarang pelanggaran ini juga muncul dari PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan itu sendiri. Semisal munculnya kebijakan-kebijakan kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dalam hal penugasan hadir kepada staf atau pegawai biasa dalam sebuah peristiwa pernikahan. Padahal hal ini secara hukum positif jelas tidak dibenarkan karena menurut UU. No.22 Th. 1946 Pasal 1 ayat (1) dan (2) jo. UU. No. 32 Th. 1954 menegaskan bahwa PPN bagi umat Islam harus diangkat oleh Menteri Agama atau diangkat oleh pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama, bukan sekedar diangkat atau ditunjuk secara lisan oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Ketika sebuah pernikahan terjadi di hadapan seseorang yang bukan PPN/Kepala/Penghulu, tapi hanya di hadapan seseorang yang ditunjuk secara lisan oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan, maka sama halnya dengan pernikahan di hadapan seorang kyai atau tokoh masyarakat. Karena pada prinsipnya keduanya sama-sama orang yang secara hukum positif tidak mempunyai kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan. Dan ketika pernikahan di hadapan seorang kyai atau tokoh masyarakat dikatakan pernikahan sirri, maka sesungguhnya sama juga pernikahan di hadapan staf atau pegawai biasa yang tidak mempunyai kewenangan tersebut juga dapat dikatakan pernikahan sirri, atau dengan kata lain nikah sirri yang tercatat.
Hal ini karena pernikahan di hadapan seseorang yang ditunjuk secara lisan oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dalam proses selanjutnya dari pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan berani memberikan bukti nikah dengan menerbitkan kutipan akta nikah atau buku nikah, sementara pernikahan di hadapan seorang kyai atau tokoh masyarakat dari pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak berani untuk menerbitkan bukti pernikahan tersebut. Padahal secara hukum positif kedua peristiwa pernikahan tersebut sama-sama hanya terjadi di hadapan seseorang yang tidak mempunyai kewenangan secara hukum untuk menyaksikan dan mencatat pernikahan.
Kemudian jika dilihat dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Sehingga dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan illegal dan tidak sah.[23]
Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat komulatif yang menjadikan perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sesuai UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.[24]
Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternatif, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan. Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemik berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.
C.    Penutup
Kantor Urusan Agama Kecamatan adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang melakukan pencatatan pernikahan dikalangan umat Islam. Artinya eksistensi Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak semata-mata karena pemenuhan tuntutan birokrasi saja tetapi secara substansial bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan keabsahan sebuah pernikahan. Sehingga semua mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang Pegawai Pencatat Nikah tentunya juga harus mengacu pada perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak berarti secara otomatis bisa dijalankan sebagai bagian dari peraturan yang berlaku.
Pemberian kebijakan oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang tidak sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku justru bertentangan dengan kaidah hukum dan merupakan perbuatan pelanggaran hukum. Sehingga kebijakan kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dengan menugaskan staf atau pegawai biasa yang tidak mempunyai kewenangan untuk menghadiri, memeriksa dan mencatat pernikahan juga termasuk ranah perbuatan pelanggaran hukum.
Pernikahan yang terjadi dihadapan seseorang yang bukan Pegawai Pencatat Nikah tapi hanya di hadapan seseorang yang ditunjuk secara lisan oleh kepala Kantor Urusan Agama untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan, maka sama halnya dengan pernikahan di hadapan seorang kyai atau tokoh masyarakat. Karena pada prinsipnya keduanya sama-sama orang yang secara hukum positif tidak mempunyai kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan. Dan ketika pernikahan di hadapan seorang kyai atau tokoh masyarakat dikatakan pernikahan sirri, maka sesungguhnya sama juga pernikahan di hadapan staf atau pegawai biasa yang tidak mempunyai kewenangan juga dapat dikatakan pernikahan sirri akan tetapi tercatat, atau nikah sirri tercatat. Dikatakan sirri karena yang menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan bukan Pegawai Pencatat Nikah atau pejabat yang berhak, dikatakan tercatat karena setelah pelaksanaan pernikahan pihak KUA Kecamatan mengeluarkan bukti berupa kutipan akta nikah atau buku nikah.



*)  Makalah disampaikan untuk kalangan terbatas dalam forum Pokjahulu Kebumen
 **) Penulis adalah Pengurus Pokjahulu Kebumen Periode Tahun 2012-2015 dan sekaligus Penghulu Muda pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen.
[1] Effendi M Zein, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Cetakan II Juli. (Jakarta: Prenada Media. 2005).
[2] Imron Jauhari, Urgansi Konsensus Penghulu Dalam Penyelesaian Kasus-Kasus Hukum Perkawinan, (Semarang, Pustaka Ilmu, 2012)
[3] Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Sedangkan gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan perlindungan dari hak-hak rakyat. Dengan kata lain, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.
[4] Afif Mundzir  dalam Rindang edisi No.11 TH. XXXIV Juni 2009 tentang Menguak Inkonsistensi Penghulu (Semarang, Rindang, 2009), hal. 24
[5] Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954 dan Kompilasi Hukum Islam, pasal 5 ayat (2) dan pasal 6 ayat (1) dan (2)
[6] Wawancara dengan kyai Tholib Buluspesantren, tanggal 10 Agustus 2014, pukul. 19.30 WIB.
[7]Petugas Pencatat Nikah atau disingkat PPN adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama RI berdasarkan UU No. 22 tahun 1946, dan
sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut Agama Islam dalam wilayahnya.
[8] Ad-Duraiswisy, Yusuf,  Nikah Sirih, Mutah dan Kontrak: Dalam Timbangan Al-Qur’an An Dan As-Sunnah. Cetakan Pertama Juni. (Jakarta : Darul Haq, 2010)
[9] Ad-Duraiswisy, Yusuf,  Nikah Sirih, Mutah Dan Kontrak: Dalam Timbangan Al-Qur’an An Dan As-Sunnah. Cetakan Pertama Juni. (Jakarta : Darul Haq, 2010),  hal.12
[10] Idris Ramulyo, Mohamad, 2006, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Cetakan Keempat Desember. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 57
[11] Idris Ramulyo, Mohamad, 2006, Hukum Perkawinan, hal. 57
[12] Ibid, hal., hal. 58
[13] Ibid
[14] Depag RI,Pedoman PPN : dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946, (Jakarta, Proyek PTK Dirjen Bimas Islam dan Haji, 2004),
[15] Depag RI,Pedoman PPN : dalam lampiran Instuksi Kepala jawatan Urusan Agama Nomor 3 Tahun 1960 dan Nomor 5 Tahun 1961 (Jakarta, Proyek PTK Dirjen Bimas Islam dan Haji, 2004),
[16] Depag RI,Pedoman PPN : dalam lampiran PMA Nomor. 11 Tahun. 2007 (Jakarta, Proyek PTK Dirjen Bimas Islam dan Haji, 2004), Pasal. 2
[17] Ibid, Pasal. 3
[18] Depag RI, Pedoman PPN : dalam lampiran PMA  Nomor. 11 Tahun. 2007 (Jakarta, Proyek PTK Dirjen Bimas Islam dan Haji, 2004), Pasal. 4
[19] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. Cetakan XI Oktober. (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2007)
[20] Effendi M Zein, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Cetakan II Juli. (Jakarta: Prenada Media. 2005).
[21]   UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk
[22] Prof. DR. R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya : Airlangga University Press, Surabaya, 2004)

[23] Effendi M Zein, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Islam Kontemporer.. hal. 60
[24] Prof. DR. R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam

المفتاح لباب النكاح

للشيخ الحبيب محمد ابن حفيظ












Kelompok Kerja Penghulu Kabupaten Kebumen
Pokjahulu Kebumen
2015

الحمد لله رب العالمين ، وصلى الله على سيدنا محمد ، خاتم النبين والمرسلين ، وعلى آله وصحبه والتابعين .
وبعد ، فقد سألني الراغبين من الإخوان الصادقين أن أجمع ما تجب معرفته على مباشرة عقد النكاح ، من الأمور اللازمة شرعا ، على مذهب الإمام الشافعي ، رضي الله عنه ، فأجبته إلى ذلك ، وكتبت هذه الورقات ، وسميتها "المفتاح لباب النكاح" ، والله المسؤول ، أن يجعل ذلك خالصا لوجهه الكريم ، آمين
معنى النكاح لغة وشرعا

النكاح لغة الضم والوطء ، وشرعا عقد يتضمن إباحة وطء بلفظ نكاح أو تزويج أو ترجمته . 

Kamis, 14 Agustus 2014

DO'A HUT RI KE. 69 TAHUN 2014

DO'A UPACARA
PROKLAMASI KEMERDEKAAN Rl Ke-69
TANGGAL 17 AGUSTUS 2014
(DI SELURUH INSTANSI PUSAT DAN DAERAH)


سم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العلمين اللهم صل وسلم على سيدنا محمد ن الفاتح لما اغلق والخاتم لما سبق والناصرالحق بالحق والهادى الى صراطك المستقيم

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
Dengan penuh kerendahan hati, kami seluruh bangsa
Indonesia mempersembahkan puji syukur kehadirat-Mu.
Engkaulah Maha Pencipta alam semesta ini, Engkau-lah
Dzat yang mengatur alam seisinya, dan Engkau pu!a yang
menentukan segala-galanya. Oleh karena itu hanya
kepada-Mu kami berserah diri dan memohon pertolongan.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa,
Atas segala rahmat dan karunia-Mu, hari ini kami seluruh
bangsa Indonesia, kembali dapat memperingati hari
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-69.
Berikanlah kami kedewasaan kehidupan berpolitik,
berdemokrasi dan kemudahan dalam percepatan
pemulihan ekonomi nasional, agar tercipta bangsa yang
bersatu, aman, adil, dan sejahtera.

Ya Allah, Tuhan Maha Pemersatu,
Jadikanlah peringatan upacara proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia ini sebagai momentum merekatkan
rasa persatuan dan kesatuan bangsa kami.
Jauhkanlah bangsa kami dari perselisihan dan
perpecahan, limpahkanlah karunia-Mu baik yang datang
dari langit maupun dari bumi.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana,
Masih panjang perjuangan Bangsa kami dan masih jauh
perjalanan sejarah bangsa kami, oleh karena itu
hindarkanlah bangsa dan negara kami dari fitnah dan
marabahaya. Mantapkan tekad kami untuk membangun
negara dan bangsa kami, agar menjadi bangsa yang
beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, adil, makmur, dan
sejahtera.

Ya Allah Tuhan Yang Maha Pengampun,
Ampunilah dosa-dosa kami, dosa ibu bapak kami, para
pemimpin dan para pejuang kami. Terimalah amal dan
perjuangan mereka, karena Engkau Maha Pengampun lagi
Maha Mengetahui.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang,
Kabulkanlah permohonan dan doa kami, agar kami semua
tergolong hamba-hamba-Mu yang beruntung.

ياعليم ما فى الصدور أحرجنا من الضلمات الى النور ربنا اتنا فى الدنيا حسنة و فى الأخرة حسنة وقنا عداب النار و الحمد لله رب العلمين