A. Pendahuluan
Nikah sirri di KUA,
mungkinkah?. Ketika pertanyaan itu disampaikan kepada PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan, spontan mereka pasti akan menjawab tidak mungkin. Akan
tetapi ketika pertanyaan ini disampaikan kepada peneliti dan atau akademisi
tentu tidak serta-merta menjawab “mungkin
atau tidak mungkin” sebelum dilakukan penelitian ilmiah, dikaji dan ditemukannya
data-data valid yang ada di lapangan. Karena pada prinsipnya data-data di
lapangan dalam sebuah penelitian ilmiah sesungguhnya akan menjadi sebuah jawaban
atas pertanyaan tersebut di atas.
Sebagaimana kita ketahui,
ketentuan pasal 2 UU Nomor. 1 Tahun 1974 merupakan azas pokok dari sahnya
pernikahan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami
sebagai syarat komulatif, bukan
syarat alternatif sahnya suatu
pernikahan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah
cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan pernikahan
mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut masih mengandung kelemahan karena pasal
tersebut multi tafsir, dan juga tidak
disertai adanya sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain
ketentuan pencatatan pernikahan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak
tegas.[1]
Kemudian dalam pelaksanaan hukum pernikahan
di Indonesia, eksistensi seorang PPN/Kepala/Penghulu yang bertugas di Kantor Urusan Agama sangatlah
penting. Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam pernikahan oleh
seorang PPN/Kepala/Penghulu dapat menyebabkan pernikahan itu bisa dilaksanakan atau tidak. PPN/Kepala/Penghulu dapat menggagalkan pernikahan
dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil pemeriksaanya terhadap pihak-pihak
yang terkait dalam pernikahan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
aturan-aturan hukum pernikahan.[2]
Seorang PPN/Kepala/Penghulu
dalam menjalankan
tugasnya haruslah berpegang kepada
aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan, KHI dan aturan-aturan lain yang berhubungan
dengan tugas-tugas
kepenghuluan. Dalam
hukum Administrasi Negara dijelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus
didasarkan pada undang-undang, yang kemudian dikenal dengan istilah asas legalitas.[3]
Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan
kenegaraan dan pemerintahan, atau dengan kata lain asas legalitas memiliki kedudukan sentral sebagai suatu fondamen
dari negara hukum. Untuk itu, PPN/Kepala/Penghulu sebagai aparatur pemerintah juga harus tunduk dengan
aturan perundang-undangan (hukum positip) dalam menjalankan tugasnya.
Namun dalam praktiknya di lapangan para PPN/Kepala/Penghulu ternyata belum sepenuhnya menggunakan
hukum positif sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya. Bahkan ada kecenderungan dalam beberapa kasus pernikahan yang terjadi, para PPN/Kepala/Penghulu masih menggunakan aturan hukum pernikahan yang ada
dalam kitab-kitab fiqh sebagai pilihan. Sikap dualisme
PPN/Kepala/Penghulu ini dalam menggunakan aturan hukum kemudian dianggap sebagai sikap inkonsistensi
yang menyalahi aturan hukum Administrasi Negara. Dalam tulisanya, Afif Mundzir menjelaskan bahwa, “Ironis banyak pelaku hukum positip yang ada di KUA, dalam hal ini penghulu berlaku
bias terhadap hukum positip karena terjebak dengan varian budaya masyarakat dan juga
asumsi parsial dan hukum fiqh secara ansih”.[4]
Dengan kata lain PPN/Kepala/Penghulu dianggap tidak
konsisten dalam melaksanakan aturan hukum pernikahan. Kadang-kadang PPN/Kepala/Penghulu
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan menggunakan aturan hukum positif namun tidak
jarang juga PPN/Kepala/Penghulu menggunakan aturan fiqh, yang mestinya selaku
aparatur negara PPN/Kepala/Penghulu dituntut harus konsisten menggunakan hukum
positif dalam menjalankan tugasnya. Bahkan tidak jarang pula PPN/Kepala/Penghulu
melakukan ijtihad dan memberikan
kebijakan-kebijakan di luar hukum positif yang ada, yang hal ini terkadang dapat
berakibat hukum yang tidak bisa dianggap ringan dalam masyarakat.
Kebijakan-kebijakan PPN/Kepala/Penghulu
ini adakalanya hanya besifat lisan yang didasarkan atas alasan-alasan yang
bersifat pribadi, seperti pakewuh, alasan
keluarga dan lain sebagainya. Kasus yang terjadi di wilayah Kebumen barat misalnya, PPN/Kepala/Penghulu memberikan
kebijakan secara lisan kepada staf dan pegawai biasa untuk menghadiri, menyaksikan
dan mencatat peristiwa pernikahan dikarenakan PPN/Kepala/Penghulu merasa pakewuh dengan staf atau pegawainya yang
dipandang lebih senior dari dirinya. Sehingga peristiwa pernikahan di wilayah tersebut
banyak berlangsung dihadapan seorang staf atau pegawai biasa yang notabene-nya bukan seorang Pegawai
Pencatat Nikah yang memiliki kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan
mencatat peristiwa pernikahan.
Terhadap
peristiwa tersebut di atas sebenarnya secara jelas sudah diatur dalam KHI pasal 5 ayat (2) yang
menyatakan bahwa “Pencatatan
perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang
No. 32 Tahun 1954”, dan juga pasal 6 ayat (1) yang menyatakan, “Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah”, dan ayat (2) yang
menyebutkan bahwa “Perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.[5]
Berbeda dengan kasus
yang terjadi di Kebumen barat, di Kebumen selatan dalam pengamatan penulis justru
pernah terjadi beberapa kali kasus pernikahan yang dilakukan bukan dihadapan
PPN/Kepala/Penghulu KUA Kecamatan setempat, melainkan hanya dilakukan dihadapan
seorang kyai saja. Padahal seorang kyai juga bukanlah Pegawai Pencatat Nikah
yang mempunyai kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat peristiwa
pernikahan. Dan terhadap pernikahan model ini, kebanyakan warga masyarakat menganggap
sebagai pernikahan sirri karena tidak
dihadiri, disaksikan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal ini PPN/Kepala/Penghulu
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.[6]
Kedua kasus tersebut
di atas, dalam pengamatan penulis cukup menarik untuk diteliti. Terhadap kasus di
Kebumen selatan, warga masyarakat spontan
menganggap sebagai pernikahan sirri
karena terjadinya pernikahan tersebut tanpa dihadiri pihak yang berwenang untuk
menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan, yaitu Pegawai Pencatat Nikah
dalam hal ini PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat. Namun yang menjadi masalahnya adalah bagaimana dengan kasus di Kebumen barat, ketika pihak Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat yang menghadiri peristiwa pernikahan tersebut ternyata
bukan seorang Pegawai Pencatat Nikah,[7]
melainkan hanya staf atau pegawai biasa. Apakah ada aturan hukumnya PPN/Kepala/Penghulu
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan memberikan kebijakan menugaskan secara lisan
kepada staf atau pegawai biasa untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat sebuah
peristiwa pernikahan?.
B. Pembahasan
1. Pengertian Nikah Sirri
Fenomena nikah sirri (sembunyi-sembunyi/rahasia)
ternyata masih menjadi polemik pelik yang harus disikapi dengan kebijakan
terbaik. Kasus ini memerlukan penelaahan yang seksama karena dalam permasalahan
ini dianggap nantinya akan terjadi benturan antara aturan agama dengan perundang-undangan
yang ada.[8]
Dimana dalam pandangan fiqih secara literal
kasus nikah sirri sudah dapat di
statuskan sah dan dapat dibenarkan, sedangkan jika disinergikan dengan
perundang-undangan, pernikahan semacam itu belum bisa dikatakan sah dan
dibenarkan karena bertentangan dengan aturan yang berupa persyaratan prosesi
pernikahan yang harus dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah.
Pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada
diantara masyarakat muslim dengan berbagai alasan tertentu melakukan pernikahan
di bawah tangan “nikah sirri” dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh
pejabat yang berwenang yaitu PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan. Fenomena semacam ini dalam masyarakat kita lebih dikenal dengan
istilah nikah sirri.
Secara literal nikah sirri berasal dari bahasa Arab “nikah
dan sirr”. Nikah menurut bahasa artinya mengumpulkan, jima’, bersetubuh
(wathi) atau persetubuhan (coitus). Kata nikah dalam penggunaannya juga sering artikan
sebagai akad nikah. Sedangkan sirr menurut bahasa berarti
rahasia. Dengan demikian secara arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan sebagai
pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan yang
dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan dari
publik dengan berbagai alasan dan tidak dipestakan dalam bentuk resepsi walimatul
ursy secara terbuka untuk umum.[9]
Kaitannya dengan nikah siri ini setidaknya ada tiga
pengertian yang terkait didalamnya, pertama, pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini
dilakukan secara rahasia (sirri)
dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju dan atau karena menganggap absah
pernikahan tanpa wali, atau mereka hanya ingin memuaskan nafsu syahwat tanpa
mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat. Padahal
hukum pernikahan seorang wanita tanpa wali Islam telah melarang dengan tegas. Ketentuan semacam ini didasarkan
pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda yang artinya: "Tidak sah suatu pernikahan tanpa
seorang wali dan dua saksi yang adil”.[10]
عن
عائشة ان النبى صل الله عليه واله وسلم قال : أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها
فنكاحها باطل، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin
walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil.
Kedua, nikah sirri yang didefinisikan nikah yang dirahasiakan dan hanya
diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali
dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak
seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang
lain.[11]
Dari definisi kedua ini, bisa saja orang yang mencatatkan pernikahannya ke KUA
disebut nikah sirri dalam pengertian
jika semua pihak yang terkait sepakat merahasiakan perihal pernikahan tersebut.
Ketiga,
nikah sirri yang umum dipersepsikan masyarakat yakni pernikahan yang tidak
dicatatkan secara resmi ke Kantor Urusan Agama Kecamatan. Masyarakat menganggap
bahwa pernikahan yang dilaksanakan walaupun tidak dirahasiakan, namun tidak
dicatatkan secara resmi ke Kantor Urusan Agama Kecamatan tetap saja dikatakan nikah sirri.[12]
Dari ketiga model pernikahan
sirri tersebut di atas, pernikahan sirri model ketiga adalah yang paling
relevan dengan topik bahasan dalam
tulisan ini. Dengan demikian, yang dimaksud dengan nikah sirri dalam
tulisan ini ialah suatu pernikahan yang dilaksanakan tidak di hadapan dan
dicatat oleh PPN/Kepala/Penghulu serta tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan.
Persoalan nikah sirri ini memang masih sering menimbulkan
pro dan kontra, satu pihak ada yang beranggapan pernikahan seperti itu boleh
dilakukan, di pihak lain meragukan keabsahannya. Nikah siri marak terjadi
dimana-mana, dan biasanya yang melakukan adalah mereka yang tahu tentang hukum
Islam, dan mereka juga tahu bahwa nikah seperti itu illegal karena tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, seperti UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 maupun Kompilasi
Hukum Islam.[13]
2. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Penghulu
Petugas Pencatat Nikah (PPN) ialah Pegawai Negeri yang
diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 pada
tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan.[14] Petugas
Pencatat Nikah mempunyai kedudukan jelas dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 sampai sekarang
ini, sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang
dilangsungkan menurut Agama Islam dalam wilayahnya.
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1976 menunjuk Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi atau yang setingkat sebagai pejabat
yang berhak mengangkat dan memberhentikan Pegawai Pencatat Nikah atau wakilnya,
menetapkan tempat kedudukan dan wilayahnya setelah terlebih dahulu menerima
usul dari Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bidang Agama Islam dan
Penyelenggaraan Haji/Bidang Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.
Instuksi Kepala Jawatan Urusan Agama Nomor 3 Tahun 1960
menyatakan bahwa Kepala KUA Kecamatan dan Petugas Pencatat Nikah pada
prinsipnya harus di satu tangan. Instruksi Kepala Jawatan Nomor 5 tahun 1961
menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Petugas Pencatat Nikah harus
lulus testing. Oleh karena itu para Pejabat yang berwenang untuk mengangkat dan
memberhentikan Petugas Pencatat Nikah harus memperhatikan benar tentang kedua
hal tersebut di atas, dalam hal ini Kepala Bidang Urusan Agama Islam/Bidang
Urusan Agama Islam dan penyelenggaraan haji/Bidang Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Haji di Propinsi selaku yang mengusulkan kepada Kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Agama yang bersangkutan.[15]
Mengenai tugas dan
kewenangan PPN berdasarkan PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 2 poin
(a) dan (b), dijelaskan:[16]
a) Melakukan
pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk,
pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.
b) Menandatangani
akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta
rujuk.
Sementara tugas dan kewenangan Penghulu dalam PMA
No. 11 Tahun 2007 pasal 3 juga dijelaskan
bahwa ,“Tugas Penghulu dan
Pembantu PPN : Mewakili PPN dalam pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan
pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan
bimbingan perkawinan, setelah mendapat mandat dari PPN”.[17]
Dengan
demikian dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya Penghulu harus mendapatkan mandat dari PPN, sehingga
konsekuensi hukumnya jika Penghulu tidak mendapat mandat atau dicabut mandatnya
oleh PPN, maka tidak dapat menjalankan tugas dan kewenangannya, sekali pun
telah memperoleh Surat Keputusan pengangkatan sebagai Penghulu.[18]
3. Pernikahan bukan dihadapan PPN/Kepala atau
Penghulu
Pernikahan bagi umat Islam
merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan
tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum
Islam. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan
untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh
karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga pernikahan itu, maka pernikahan atau
perkawinan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan
keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.[19]
Sebagaimana kita ketahui,
ketentuan pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan azas pokok dari sahnya
pernikahan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami
sebagai syarat komulatif, bukan syarat alternatif sahnya suatu pernikahan. Sehingga dari fakta hukum
dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat
Islam terhadap wajibnya mencatatkan pernikahan mereka. Akan tetapi ketentuan
tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang
melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan pernikahan dalam
undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.[20]
Dalam perspektif hukum positif di
Indonesia, pernikahan atau perkawinan bagi umat Islam, di samping harus
dilakukan menurut hukum Islam, juga setiap pernikahan wajib dilangsungkan di
hadapan dan dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pernikahan yang tidak dilakukan sesuai dengan
ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).
Lebih lanjut dijelaskan pula tentang adanya sangsi
bagi pelaku pelanggaran, yaitu dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 pasal
3 ayat (1), yang menyatakan bahwa,” Barang
siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di
bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya,
dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah). Kemudian sangsi terhadap oknum yang bertindak
seolah-olah sebagai Petugas Pencatat Nikah dan atau wali hakim, juga dijelaskan
pada ayat (2) yang menyatakan bahwa,” Barang
siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak
ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 100,-(seratus rupiah)”.[21]
Mensikapi fenomena yang
berkembang dan munculnya banyak kasus-kasus pernikahan sirri yang terjadi dalam
masyarakat, itulah sebabnya pula beberapa tahun terakhir ini pemerintah kita sebenarnya
telah merumuskan sebuah RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Pernikahan. RUU
Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Pernikahan ini sampai saat ini memang belum
juga disahkan di tingkat parlemen. Padahal
dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan pernikahan dirumuskan secara tegas dan
disertai sanksi yang jelas juga bagi yang melanggarnya.[22]
Pasal 4 RUU misalnya, menegaskan
setiap pernikahan wajib dicatat oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan,”Untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap pernikahan wajib dilangsungkan
di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5
ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya”.
Ketentuan pidana yang menyangkut
pelanggaran pencatatan pernikahan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU
tersebut menyebutkan bahwa,” Setiap orang
yang dengan sengaja melangsungkan pernikahan tidak di hadapan PPN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.6.000.000,-
(enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan)”.
Pasal 145 RUU menyatakan bahwa ,”PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp. 12.000.000,- (dua
belas juta rupiah)”.
Pasal 146 RUU menyatakan,” Setiap orang yang melakukan kegiatan pernikahan
dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan
ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi
ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat. Akibatnya dalam prakteknya
pelanggaran masih banyak terjadi dalam masyarakat, bahkan tidak jarang
pelanggaran ini juga muncul dari PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan itu sendiri. Semisal munculnya kebijakan-kebijakan kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dalam
hal penugasan hadir kepada staf atau
pegawai biasa dalam sebuah peristiwa pernikahan. Padahal hal ini secara hukum
positif jelas tidak dibenarkan karena menurut UU.
No.22 Th. 1946 Pasal 1 ayat (1) dan (2) jo. UU. No. 32 Th. 1954 menegaskan
bahwa PPN bagi umat Islam harus diangkat oleh Menteri Agama atau diangkat oleh
pegawai yang ditunjuk oleh Menteri Agama, bukan sekedar diangkat atau ditunjuk secara
lisan oleh kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan.
Ketika sebuah pernikahan terjadi di hadapan seseorang
yang bukan PPN/Kepala/Penghulu, tapi hanya di hadapan seseorang yang ditunjuk
secara lisan oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk menghadiri,
menyaksikan dan mencatat pernikahan, maka sama halnya dengan pernikahan di
hadapan seorang kyai atau tokoh masyarakat. Karena pada prinsipnya keduanya
sama-sama orang yang secara hukum positif tidak mempunyai kewenangan untuk
menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan. Dan ketika pernikahan di hadapan
seorang kyai atau tokoh masyarakat dikatakan pernikahan sirri, maka sesungguhnya sama juga pernikahan di hadapan staf atau
pegawai biasa yang tidak mempunyai kewenangan tersebut juga dapat dikatakan
pernikahan sirri, atau dengan kata
lain nikah sirri yang tercatat.
Hal ini karena pernikahan di hadapan seseorang yang
ditunjuk secara lisan oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
dalam proses selanjutnya dari pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan
berani memberikan bukti nikah dengan menerbitkan kutipan akta nikah atau buku
nikah, sementara pernikahan di hadapan seorang kyai atau tokoh masyarakat dari
pihak Kantor
Urusan Agama Kecamatan tidak berani untuk
menerbitkan bukti pernikahan tersebut. Padahal secara hukum positif kedua
peristiwa pernikahan tersebut sama-sama hanya terjadi di hadapan seseorang yang
tidak mempunyai kewenangan secara hukum untuk menyaksikan dan mencatat
pernikahan.
Kemudian jika
dilihat dari sudut pandang
hukum yang berlaku di Indonesia, nikah
sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, suatu perkawinan di
samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh
pejabat yang berwenang. Sehingga dengan demikian, dalam perspektif peraturan
perundang-undangan, nikah sirri
adalah pernikahan illegal dan tidak sah.[23]
Bagi kalangan umat Islam
Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat komulatif yang menjadikan perkawinan
mereka sah menurut hukum positif, yaitu: pertama, perkawinan
harus dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan
harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sesuai UU No.22/1946 jo.
UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan
dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum
dan dapat dibatalkan.[24]
Akan tetapi kalau ketentuan pasal
tersebut masih dipahami sebagai syarat alternatif, maka perkawinan dianggap sah
meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama Kecamatan. Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan
yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemik berkepanjangan bila ketentuan
undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban
pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai sanksi bagi yang
melanggarnya.
C. Penutup
Kantor Urusan Agama Kecamatan
adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang melakukan pencatatan
pernikahan dikalangan umat Islam. Artinya eksistensi
Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak semata-mata karena pemenuhan tuntutan birokrasi saja tetapi secara substansial bertanggung jawab penuh
terhadap pelaksanaan keabsahan sebuah
pernikahan. Sehingga semua mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang Pegawai Pencatat
Nikah tentunya juga harus mengacu pada perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan
kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak berarti secara otomatis bisa
dijalankan sebagai bagian dari peraturan yang berlaku.
Pemberian kebijakan oleh kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan yang tidak sejalan dengan perundang-undangan yang
berlaku justru bertentangan dengan kaidah hukum dan merupakan perbuatan
pelanggaran hukum. Sehingga kebijakan kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
dengan menugaskan staf atau pegawai biasa yang tidak mempunyai kewenangan untuk
menghadiri, memeriksa dan mencatat pernikahan juga termasuk ranah perbuatan
pelanggaran hukum.
Pernikahan yang terjadi dihadapan seseorang yang bukan Pegawai Pencatat Nikah
tapi hanya di hadapan seseorang yang ditunjuk secara lisan oleh kepala Kantor Urusan Agama untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan,
maka sama halnya dengan pernikahan di hadapan seorang kyai atau tokoh
masyarakat. Karena pada prinsipnya keduanya sama-sama orang yang secara hukum
positif tidak mempunyai kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat
pernikahan. Dan ketika pernikahan di hadapan seorang kyai atau tokoh masyarakat
dikatakan pernikahan sirri, maka
sesungguhnya sama juga pernikahan di hadapan staf atau pegawai biasa yang tidak
mempunyai kewenangan juga dapat dikatakan pernikahan sirri akan tetapi tercatat,
atau nikah sirri tercatat. Dikatakan
sirri karena yang menghadiri,
menyaksikan dan mencatat pernikahan bukan Pegawai Pencatat Nikah atau pejabat
yang berhak, dikatakan tercatat
karena setelah pelaksanaan pernikahan pihak KUA Kecamatan mengeluarkan bukti
berupa kutipan akta nikah atau buku nikah.
**) Penulis adalah Pengurus Pokjahulu Kebumen
Periode Tahun 2012-2015 dan sekaligus Penghulu Muda pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen.
[1] Effendi M Zein,
Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Islam Kontemporer: Analisis
Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Cetakan II Juli. (Jakarta: Prenada
Media. 2005).
[2] Imron Jauhari, Urgansi Konsensus Penghulu Dalam Penyelesaian Kasus-Kasus Hukum Perkawinan, (Semarang, Pustaka Ilmu, 2012)
[3] Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan
demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap
bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan
sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Sedangkan gagasan negara
hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus
didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan legitimasi tindakan
pemerintahan dan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Asas legalitas menjadi
dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan perlindungan dari hak-hak
rakyat. Dengan kata lain, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral
secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat
berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya
konstitutif.
[4] Afif
Mundzir dalam Rindang edisi No.11 TH.
XXXIV Juni 2009 tentang Menguak Inkonsistensi Penghulu (Semarang,
Rindang, 2009), hal. 24
[5] Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954 dan Kompilasi Hukum Islam, pasal 5
ayat (2) dan pasal 6 ayat (1) dan (2)
[6]
Wawancara dengan kyai Tholib Buluspesantren, tanggal 10 Agustus 2014, pukul.
19.30 WIB.
[7]Petugas
Pencatat Nikah atau disingkat PPN adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama RI berdasarkan UU No. 22
tahun 1946, dan
sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang
mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut Agama Islam dalam wilayahnya.
[8] Ad-Duraiswisy,
Yusuf, Nikah Sirih, Mutah dan
Kontrak: Dalam Timbangan Al-Qur’an An Dan As-Sunnah. Cetakan Pertama Juni. (Jakarta
: Darul Haq, 2010)
[9] Ad-Duraiswisy,
Yusuf, Nikah Sirih, Mutah Dan
Kontrak: Dalam Timbangan Al-Qur’an An Dan As-Sunnah. Cetakan Pertama Juni. (Jakarta
: Darul Haq, 2010), hal.12
[10] Idris
Ramulyo, Mohamad, 2006, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Cetakan Keempat Desember.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 57
[11] Idris Ramulyo,
Mohamad, 2006, Hukum Perkawinan, hal. 57
[13] Ibid
[14] Depag
RI,Pedoman PPN : dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1946, (Jakarta, Proyek PTK Dirjen Bimas
Islam dan Haji, 2004),
[15] Depag
RI,Pedoman PPN : dalam lampiran Instuksi Kepala jawatan Urusan Agama Nomor 3 Tahun 1960 dan
Nomor 5 Tahun 1961 (Jakarta, Proyek PTK Dirjen Bimas
Islam dan Haji, 2004),
[16] Depag RI,Pedoman PPN : dalam lampiran PMA Nomor. 11 Tahun. 2007 (Jakarta,
Proyek PTK Dirjen Bimas Islam dan Haji, 2004), Pasal. 2
[18] Depag
RI, Pedoman PPN : dalam lampiran PMA Nomor. 11 Tahun. 2007 (Jakarta, Proyek PTK Dirjen Bimas Islam dan Haji, 2004), Pasal.
4
[19] Ahmad Azhar Basyir, Hukum
Perkawinan Islam. Cetakan XI Oktober. (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2007)
[20] Effendi M Zein,
Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Islam Kontemporer: Analisis
Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Cetakan II Juli. (Jakarta: Prenada
Media. 2005).
[22] Prof. DR. R.
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya : Airlangga University Press, Surabaya, 2004)
assalamualaikum pak maaf sebelumnya, bolehkah saya meminta alamat email salah satu pengurus blog ini. trimakasih, wassalamualaikum wr.wb
BalasHapus